Hal yang Perlu Diketahui Sebelum Memberi Hibah pada Anak Yatim
Menyantuni anak yatim merupakan salah satu hal yang sangat dianjurkan pelaksanaannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukan tanpa sebab, pasalnya terdapat berbagai keutamaan yang akan diperoleh orang-orang yang berusaha mengerjakan anjuran Rasulullah tersebut. Salah satu di antaranya adalah akan berada di posisi sedekat mungkin dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kelak di Surga. Maka dari itu, menyantuni anak yatim menjadi hal yang sering dipilih oleh umat Islam untuk memeroleh berbagai keutamaan dan pahala yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Meski pun demikian, hendaknya umat Islam harus benar-benar menanamkan niat mengurus anak yatim sesuai dengan aturan syariat. Menyantuni sendiri adalah aktivitas yang ditujukan untuk menggantikan peran seorang ayah yang meninggal mulai dari menafkahi, merawat, melindungi, hingga mendidik. Namun, perlu diketahui bahwa menggantikan peran bukan berarti menjadi ayah sebenarnya bagi sang yatim. Hal ini menandakan bahwa sejatinya antara yatim dan penyantun masih terdapat jarak yang harus dijaga. Bukan tanpa sebab, pasalnya banyak orang yang berselisih di kemudian haru akibat tidak menjaga jarak antara penyantun dan yatim.
Kondisi ini pada akhirnya kerap menimbulkan masalah, terutama dalam perkara warisan. Ketika kita telah merasa mengurus anak yatim, lantas kita memberinya hadiah sebagai contoh rumah maka perlu diketahui bahwa rumah tersebut selamanya akan menjadi hak anak yatim beserta keturunannya. Sayangnya, banyak yang tidak paham akan hal ini lantas meminta kembali pemberian tersebut di suatu hari. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan kepada sahabat dan umatnya untuk dapat senantiasa menjaga harta mereka sebaik mungkin sebelum benar-benar memutuskan untuk menghibahkannya. Sebagaimana diketahui dalam suatu hadist bahwasanya beliau bersabda,
“Jagalah hartamu dan janganlah merusaknya, karena barang-siapa ber’umra, maka ia menjadi milik orang yang diberinya selama ia hidup dan mati dan menjadi milik keturunannya.’” (HR. Muslim)
Hadist di atas menjelaskan tentang salah satu aturan terkait hibah. ‘Umra adalah jenis hibah yang diberikan pada seseorang. Ketika telah ber’umra sejatinya kita telah harus merelakan bahwa hibah tersebut telah menjadi hak dari penerima selama mereka hidup. Ketika mereka meninggal maka pemberian tersebut menjadi hak dari keturunannya. Hal ini menandakan bahwa umat Islam dilarang meminta kembali pemberian tersebut. Sering kali banyak di antara kita yang tidak memahami hal ini. Sehingga hibah kerap menjadi masalah di kemudian hari terutama dalam perkara antara seorang anak yatim yang telah dianggap anak oleh penyantunnya. Pada hal, secara syariat mereka tidak memiliki hubungan darah.
Namun, karena telah merasa dekat sering kali penyantun menghibahi anak yatim yang diurusnya hadiah bernilai materi. Terkait hal ini, sejatinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan sahabat dan umatnya untuk menjaga sebaik mungkin harta mereka. Bukan tanpa sebab, pasalnya ketika salah satu bentuk harta tersebut dihibahi maka akan menjadi miliki dari sang penerima. Hal ini menandakan bahwa telah putus hak pemberi terhadap harta tersebut. Aturan ini perlu dicermati dan dipahami dengan baik. Tujuannya adalah agar tidak menimbulkan masalah antara para keturunan atau ahli waris masing-masing. Begitulah sejatinya hal yang wajib kita pahami sebelum berhibah.